Efisiensi Kinerja Perbankan di Indonesia
Studi Perbandingan Bank Pemerintah dan Bank Swasta
Izza Mafruhah **
Abstract
In a industry, mechanism is a result which is influenced by structure and behaviour of its industry while economically mechanism has some aspects that certain it, but the experts more focus un three aspect, those are technology, efficiency and development in distribution. Mechanism in a company is usually measured by economy efficiency that is the comparasion between output that is resulted by input which is used or it can say that economy efficiency will reflect efficient input allocation because a company is always considered to operate in the limit line of production ( efficiency technic )
In a company in this research is the finance institution of bank, it can be said efficient if it uses less input unit compared to input that is produced by other companies to prduce more out put. From the result of the research is get the first conclusion that is the finance institution of bank in Indonesia pasca crisis in 1997 – 1998 generally has developed quite well, it is proved by the mechanism is rising well in the finance mechanism in each finance institution of the bank. Both public government bank has lower technic of efficiency level compared to the national private and foreign bank. From 13 numbers of sample banks that is researched, there are 3 banks has nit had full efficiency yet those are Bank BNI 46 with efficiency level 84,58%, and then Bank BTN has efficiency level 97,01% while the private bank side ABN AMRO has not reached maximum value with efficiency level 99,82%. Three resources of inefficiency in each bank is from input side
Pendahuluan
Industri Perbankan di Indonesia telah mengalami pasang surut, dimulai dari tahun 1983 ketika berbagai macam deregulasi muncul sampai dengan krisis ekonomi tahun 1997 – 1998 yang melanda Indonesia dan berimbas luar biasa bagi bisnis Perbankan. Pada era sebelum Juni 1983, ditandai dengan campur tangan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dalam pengaturan pagu kredit dan tingkat bunga terhadap bank – bank nasional serta penyediaan likuiditas dalam jumlah yang melimpah. Deregulasi Perbankan tahun 1983 ini mengadung 3 unsur utama yaitu :
- Menghapus pagu kredit sehingga bank nasional bisa memberikan kredit secara leluasa sesuai dengan kemampuannya dengan harapan bank dapat berkembang secara wajar.
- Bank diberikan kebebasan untuk menentukan tingkat suku bunganya sendiri dalam rangka memobilisasi dana dari dan kepada masyarakat
- Mengurangi sebanyak mungkin atau meniadakan ketergantungan kepada bank sentral ( Bank Indonesia ) dengan cara mengurangi / meniadakan kredit likuiditas.
Dengan liberalisasi tersebut diharapkan industri perbankan dapat membuka hambatan yang sebelumnya menimbulkan represi sektor keuangan dan sistem keuangan negara kita. Sejak adanya deregulasi tersebut, industri perbankan maju pesat.
Paket deregulasi yang berikutnya adalah pada tanggal 27 Oktober 1988 sehingga dikenal dengan Pakto 1988. Maksud dari deregukasi ini adalah berupaya meningkatkan akses masyarakat terhadap financial market sambil mendorong perbankan ke arah kompetisi (persaingan ) yang efisien dan sehat dengan kemudahan dalam mendirikan bank. Oleh karena itu jumlah bank dan kantor cabang bank semakin banyak, persaingan antar bank secara sehat ini diharapkan akan menumbuhkan kreatifitas dan inovasi dari masing – masing pengelola perbankan.
Dengan Pakto 1988 yang memberikan kebebasan dan kemudahan bagi bank komersiil untuk melakukan inovasi menyebabkan banyak bank yang salah langkah, kurang hati – hati atau menyimpang dari aturan atau ketentuan yang berlaku. Hal ini menimbulkan kecenderungan meningkatnya kredit macet. Untuk itu dalam rangka prudential banking (prinsip kehati-hatian ) ini, maka dengan paket 29 Mei 1993 tentang penilaian tingkat kesehatan bank, Bank Indonesia menetapkan adanya ketentuan tentang penilaian bank yang dikenal dengan metode CAMEL (Capital, Assets, Manajemen Risks, Earning, Liquidity ).
Sebagai kelanjutan Paket Mei 1996, pemerintah meluncurkan PP No 68 th 1996, Peraturan pemerintah ini terutama menekankan soal kewajiban bank dalam memelihara kesehatan bank sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia serta melaksanakan usaha – usaha sesuai dengan prinsip kehati – hatian. PP No 68 berisikan 3 unsur yaitu :
- Peningkatan CAR ( Capital Adequacy Ratio ) minimal 8 % dari Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR ) menjadi 10 % pada akhir 1997 dan 12 % pada tahun 2001.
- Peningkatan modal disetor menjadi Rp 50 miliar bagi bank umum non devisa dan Rp 150 miliar bagi bank devisa.
- Peningkatan Giro wajib Minimum dari 3 % menjadi 5% per April 1997.
Download Jurnal
https://drive.google.com/file/d/1pWdGeM6QyUO-XLR0HyIYsRX7l3OoA2o9/view?usp=sharing