Policy 1-10

Policy 1-10

Efisiensi Kinerja Aparat Pemerintah dalam Fungsi Pelayanan Publik kepada Masyarakat di Kabupaten Karanganyar ( Studi Kasus Pelayanan Puskesmas )

A.    PENDAHULUAN

Penyelenggaraan pemerintah daerah yang otonomi di Indonesia telah diatur dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, maka perlu perangkat peraturan daerah yang menyangkut mengenai ketentuan penyerahan urusan dan operasional penyelenggaraan otonomi daerah dan menyesuaikan di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan supaya terjadi kepastian hukum terhadap keseluruhan penyelenggaraan otonomi daerah. Untuk mlaksanakan otonomi daerah menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dibutuhkan dukungan perangkat peraturan daerah yang memadai, penyiapan ketentuan perundang-undangan di tingkat daerah yang menyangkut otonomi daerah dan penyesuaian di bidang hukum  dan perundang-undangan supaya terjadi kepastian hukum terhadap keseluruhan penyelenggaran otonomi daerah.

Produk yang diciptakan oleh pemerintah selaku penyelenggara kegiatan suatu negara adalah jasa. Hal ini berkaitan erat dengan fungsi pemerintah dalam wujud pelayanan publik. Seiring dengan globalisasi, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi  yang pesat dan kompetitif, membawa konsekuensi perubahan disegala bidang. Perubahan tersebut diikuti dengan tuntutan peningkatan kesejahteraan secara umum, hal ini yang menjadikan kesadaran manusia atas martabat dan makna kehidupan. Kesadaran ini kemudian menghadirkan berbagai tuntutan yang semakin tinggi akan peran organisasi terutama organisasi pemerintah untuk dapat mewujudkan kehidupan masa depan yang lebih baik, maka reformasitata pemerintahan (governance reformation) menjadi wacana yang menarik.

Perhatian dan tuntutan terhadap kebutuhan pembentukan sistem pemerintahan (governance system) di bidang pemerintahan pada ahkir-ahkir ini sangat diperlukan. Hal ini dikarenakan masih banyaknya organisasi yang memiliki kinerja yang tidak baik. Disamping itu, disebabkan tidak efektifnya perangkat hukum dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan organisasi dan tata pemerintahan. Sehingga permasalahan tersebut menjadi titik perhatian akademisi, pemerintah dan praktisi untuk melakukan penataan terhadap governance system.

Tidak terciptanya kinerja Pelayanan Publik yang baik dan tidak efektifnya perangkat hukum dan perundang-undangan, tidak saja berakibat pada profit organization tetapi juga pada non-profit organization, termasuk  institusi pemerintah. Penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, terutama dalam hal kinerja yang berkaitan dengan pelayanaan publik selama ini dianggap kurang menerapkan prinsip, efisiensi, partisipasi, transparasi dan akuntabilitas publik. Kualitas pelayanan,  kemudahan, keadilan, persamaan perlakuan di muka hukum menjadi kebutuhan publik yang amat mendesak.

Pelayanan Publik sebagai usaha pemenuhan kebutuhan dan hak-hak dasar masyarakat merupakan salah satu fungsi penting pemerintah, selain fungsi distribusi, regulasi maupun proteksi.  Fungsi pelayanan publik tersebut merupakan aktualisasi riil kontrak sosial yang diberikan masyarakat kepada pemerintah dalam konteks hubungan Principal-Agent. Berdasarkan kerangka kerja tersebut, pemerintah selanjutnya melakukan proses pengaturan alokasi sumber daya publik dengan cara menyeimbangkan aspek penerimaan dan pengeluaran untuk memaksimalkan penyediaan kebutuhan pelayanan kolektif.

Sebagai pelaksana kontrak sosial yang digariskan sebelumnya pemerintah seringkali menimbulkan banyak masalah bagi publik yang menjadi kliennya. Sangat masuk akal jika pemerintah  kemudian mendapatkan  berbagai stigma negatif, jauh dari “menjadi bagian dari solusi” (a part of solution), pemirintah justru menjadi “bagian dari masalah” (a part of problem) bahkan menjadi masalah utama dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik.

Fenomena malpraktek pelayanan publik sudah menjadi bagian integral dari penyelenggaraan pelayanan publik, maka bukan hal yang tidak mungkin jika stigma negatif itu dilontarkan, hal ini dapat dilihat dari kinerja pelayanan publik yang tidak baik, misalnya bertele-tele, cenderung birokratis, tidak transparan, banyak pungutan tambahan, perilaku aparat yang lebih bersikap sebagi pejabat ketimbang abdi masyarakat dan pelayanan yang diskriminatif. Indikasi lain yang terkait dengan pelayanan publik adalah teridentifikasinya “budaya negatif” di dalam lingkungan organisasi pemerintah  yang merugikan kepentingan publik seperti mendahulukan kepentingan pribadi, golongan, kelompok, termasuk kepentingan  atasannya. Adanya perilaku malas dalam mengambil inisiatif di luar peraturan  (lebih banyak sembunyi dibalik aturan atau petunjuk atasan), sikap acuh terhadap keluhan masyarakat, lamban dalam memberikan pelayanan, serta sederetan  persoalan  lainnya yang merupakan gambaran perilaku yang tidak mengenakkan yang mengindikasikan kedua hal tersebut diatas.

Reformasi pelayanan publik tertinggal dibanding reformasi di berbagai bidang lainnya. Empat perubahan dasar hukum, yaitu undang-undang pemilihan umum yang baru, undang-undang desentralisasi, undang-undang independensi hukum, serta undang-undang anti korupsi dan komisi anti korupsi, semuanya memberikan kemajuan dalam agenda reformasi. Walaupun perundangan pelayanan publik yang baru tahun 1999 (UU 43/99)  dan desentralisasi lebih dari dua pertiga pegawai negeri tingkat pusat ke  tingkat daerah telah dijalankan, struktur dan nilai yang dianut sebagian besar  masih tidak berubah. Sistem dan filsafat yang mendasari pelayanan publik di  Indonesia tidak hanya ketinggalan jaman, tetapi juga menghasilkan kinerja dibawah standar dalam masyarakat yang berubah secara cepat. Negara harus dapat memberikan garansi pelayanan bermutu tinggi jika pertumbuhan dan kesejahteraan masyarakat ingin tetap dipertahankan dalam lingkungan mendunia yang penuh persaingan ini. Penilaian terhadap hasil pelayanan sangat erat dengan penilaian mutu kinerja.

Dalam suatu kegiatan produksi ( barang maupun jasa ) baik dalam lembaga pemerintahan maupun swasta penilaian produktifitas dan efisiensi hasil dilihat dari kinerjanya. Kinerja dapat diartikan sebagai hasil kerja yang dipengaruhi oleh struktur dan perilaku industri itu sendiri. Sementara secara ekonomis, kinerja mempunyai banyak aspek yang menentukan, namun para ahli lebih banyak memusatkan pada 3 aspek tujuan saja yaitu tehnologi, efisiensi dan perkembangan dalam distribusi  (Wihana, 2001 :15).

Dalam penelitian ini, lembaga penyelenggara pelayanan masyarakat di kabupaten Karanganyar dapat dikatakan efisien bila :

  1. Menggunakan jumlah unit input  yang lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah input yang dikeluarkan oleh unit pelayanan  lain untuk menghasilkan output yang sama.

Menggunakan jumlah input yang sama untuk menghasilkan output yang lebih banyak.

Download File

https://drive.google.com/file/d/1q1jGeXTdOKrTi6zgeb5kxTLZtmS1vIGC/view?usp=sharing